Jemputan Terakhir

PERNAHKAH Anda melihat seseorang
menjelang sakratul maut? Berapakali Anda
melihat mereka yang terbelalak ketakutan,
yang kesakitan atau yang hanya seperti
hendak pergi tidur?
Aku punya seorang teman dekat di SMU I
Binjai bernama Wati. Ia dara berjilbab yang
sangat cantik, supel, berbudi, senang
menolong orang lain dan selalu menjadi
juara kelas. Maka seperti mendengar petir
di siang hari, saat kudengar ia yang sudah
sekian lama tak masuk sekolah ternyata
mengidap
kanker rahim. Bahkan sudah menyebar
hingga stadium empat!!
Sekolah kami berduka. Para aktivis rohis
amat sedih. Wati adalah motor segala
kegiatan dakwah. Ide-idenya segar. Ia
selalu punya terobosan baru. Ia bisa
mendekati dan disukai siapapun. Sungguh,
kami tak memiliki Wati yang lain.
Maka betapa pedih menatapnya hari itu. Ia
tergolek lemah di ranjang. Badannya
menjadi amat kurus. Wajahnya pasi.
Setelah sakit berbulan-bulan,hari ini ia tak
mampu lagi mengenali kami!
“Wati sudah sebulan ini tak bisa bangun”
kata ibunya sambil mengusap airmatanya.
Namun kami terbelalak, saat baru saja
ibunya selesai bicara, perlahan Wati
berusaha untuk bangun.
Kami semua tercengang saat ia berdiri dan
berjalan melintasi kami seraya berkata
dengan suara nyaris tak terdengar, “Aku
mau berwudhu dan shalat Dhuha.”
Serentak kami semua berebutan
membimbingnya ke kamar mandi. Setelah
itu ibunya memakaikannya mukena dan
sarung. Sementara ayahnya kembali
membaringkannyadi tempat tidur karena ia
terlalu lemah untuk shalat sambil berdiri.
Hening. Tak seorang pun yang bersuara
saat ia melakukan sholat Dhuha. Selesai
sholat, saat ibunya akan membukakan
mukena, ia melarang dengan halus. Lalu
lama sekali dipandanginya wajah ibu, ayah
dan adik-adiknya satu persatu bergantian.
Dari mulutnya terus menerus terdengar
asma Allah. Kami yang menyaksikan tak
kuat lagi menahan tangis.
Tiba-tiba Wati tersenyum. Ia memandang
kami, teman-temannya,dengan penuh
sayang. Lalu kembali memandang wajah
ayah, ibu dan adik-adiknya bergantian. Kini
kulihat butiran bening menetes dari sudut
matanya. Lalu susah payah ia mengangkat
kedua tangannya dan mendekapkannya di
dada.
Dengan tersenyum ia menutup kedua
matanya sambil mengucapkan dua kalimat
syahadat dengan sangat lancar.
Innalillaahi wa inna ilaihi rooji’uun. Ia telah
pergi untuk selamanya. Bagai melayang
aku menyaksikan semua. Dadaku berdebar,
lututku gemetar. Subhanallah, ia telah
kembali dengan sangat sempurna dalam
usia yang baru 18 tahun.
Tiba-tiba, antara ilusi dan kenyataan, aku
mencium wewangian. Tubuhku bergidik.
Aku menangis terisak-isak.
Yaa Allah, sudah siapkah aku bila Engkau
ingin bertemu??
SUBHANALLAH
Semoga ALLAH wafatkan kita dalam
keadaan khusnul khotimah. Aamiin

Related Posts:

0 Response to "Jemputan Terakhir "

Post a Comment